Jumat, 21 Januari 2011

Upah Pertama
Di negeri atas angin tinggal Raja dan Permaisuri, bersama seorang putra yang sangat manja. Apa saja keinginannya harus dikabulkan.
Waktu terus berlalu, Baginda merasa sudah terlalu tua untuk memangku jabatan seperti semula, maka sebagai penggantinya kelak tentu saja Sang Putra Mahkota.

Ilustrasi: wallpaper for free
Tapi beliau merasakan bahwa putranya tak akan dapat menjadi raja yang bijaksana tanpa bekal ilmu yang tinggi. Maka Baginda lalu menguji putranya.
Setiap hari sang putra mahkota diharuskan menyetorkan uang kepada baginda raja sebesar satu rupiah. Namun ternyata putra mahkota selalu minta uang pada permaisuri.
Keadaan itu berlangsung sampai agak lama sementara itu baginda selalu curiga.
“Mengapa putraku selalu dengan cepat dapat memperoleh uang setoran itu?”
Setiap kali raja membakar uang itu di hadapan putranya. Baginda heran melihat sikap putranya yang tenang-tenang saja, padahal itu uangnya.
Sementara itu putra mahkota berpikir, “Ah, biar saja uang itu dibakar ayah, toh saya masih dapat minta ibu?” Yah memang begitulah sifatnya.
Pada akhirnya, baginda tahu bahwa putranya selalu mendapat uang dari ibunya. Baginda melarang Permaisuri memberi uang pada putranya.
Tapi putra yang manja itu tidak putus asa, dia ganti mengancam perdana menteri. Baginda tahu dan melarang, ganti lagi sang putra mengancam pegawai istana lainnya. Baginda melarang dengan keras:
“Barang siapa yang berani memberi uang pada putra mahkota dengan cuma-cuma akan dijatuhi hukuman berat.”

Ilustrasi: blogspot
Akhirnya tak ada seorang pun yang memberi uang setoran pada putra mahkota. Barulah dia berpikir hendak bekerja, karena tak pernah bekerja, ia sukar sekali mendapat pekerjaan kecuali jadi tukang batu.
Ia bekerja dari pagi sampai malam hari dengan gaji satu rupiah tiap satu kubik hancuran batu.
Setelah mendapat upah, dia segera menghadap ayahandanya dengan hati gembira. Tapi, apa yang terjadi?
Baginda membakar kembali uang itu seperti kejadian biasanya, putra mahkota menubruk uang di dalam api itu sambil menangis tersedu-sedu.
Katanya, “Ayah kejam, ayah tidak menghargai jerih payah saya.”
Jawab ayahnya:
“Mengapa pula aku harus berbuat begitu? Bukankah uang itu sama seperti uangmu yang ayah bakar hari-hari yang lalu?”
Nah, barulah sang putra mahkota sadar bahwa selama ini sang ayah hendak mengujinya, supaya dia dapat menghargai jerih payah orang lain.
Karena dengan bekal itulah dia dapat memerintah negaranya kelak dengan adil dan bijaksana. Tak lama kemudian baginda Raja itu mangkat lalu digantikan oleh sang putra yang dulu manja tapi kini telah baik budinya.
Diceritakan kembali oleh: Ratna Hariani.
Bobo No.1/Thn.VII/1979

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pandu Putri Pamungkas Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template