Jumat, 21 Januari 2011

Ading Penjual Kue
Ading berusia sembilan tahun. Abangnya bernama Rojak, sudah tidak lagi tinggal di Jakarta. Dia ikut pamannya di kampung.
Sebelum ini Rojak dan Ading tinggal bersama-sama ibunya. Ibunya telah menjanda, karena ayah kedua anak itu sudah meninggal.
Pada libur akhir tahun, Ading selalu bermain-main dengan teman-temannya. Ibunya hampir tidak memperhatikannya.
Dia bekerja sebagai tukang cuci untuk siapa saja yang mau mencucikan pakaiannya. Karena ibu kurang memperhatikan Ading, anak ini selalu bermain-main saja.
Sebagai tukang cuci penghasilan ibunya tidak seberapa. Itulah sebabnya Rojak dititipkan pada pamannya di kampung.

Ading harus berjualan kue! Foto: beckyhiggins
Untuk makan saja, agaknya selalu kekurangan. Itulah sebabnya, meskipun tinggal di Jakarta, tidak setiap hari mereka makan nasi.
Suatu hari Ading membawa baskom berisi singkong dan sambal. Pak Nur yang selalu memperhatikannya bertanya:
“Bawa apa Ding?”
“Singkong, Pak Nur!” jawab Ading sambil tersenyum.
Bajunya yang tidak terkancing terbuka. Celananya tergantung di bawah pusarnya. Kancingnya lepas satu.
“Untuk siapa, Ding?”
“Untuk emak. Untuk makan siang!”
“Masa kamu makan siang dengan singkong?”
“Biasa, Pak!” jawab Ading kemalu-maluan dan meneruskan langkahnya.
Pada hari yang lain Pak Nur melihat Ading sedang makan rujak kangkung.
“Ding, kamu sudah makan?”
“Belum pak!”
“Mau kamu makan di sini?”
“Terimakasih, Pak!”
“Kenapa?”
“Ini saya sedang makan!”
“Sama nasi, mau?”
“Tidak, Pak, terimakasih!”
“Makan kangkung kan kurang vitamin?”
“Saya senang!” jawab Ading sambil melemparkan pincuk bekas rujak itu. Lantas dia berlari ke tempat teman-temannya lagi.
Hampir tiap hari, siapapun melihat Ading makan rujak atau makan kerupuk. Uang itu diperolehnya dari orang-orang yang suka menyuruhnya membuang sampah, atau membersihkan sepeda motor.
Ading selalu mendapat upah. Kalau tidak limapuluh, kadang-kadang duapuluh lima rupiah. Uang itulah yang dibelikannya makanan, kue atau yang lain.
Pada hari sekolah Ading hanya membawa satu buku, satu pensil dan satu karet penghapus. Buku satu-satunya itu hampir penuh dengan tulisan. Nilainya tidak terlalu buruk, juga tidak terlalu istimewa.
Pulang dari sekolah, ia selalu berlari-lari dengan baju terbuka, melambai-lambai. Celananya selalu dibawah pusar. Di antara teman-temannya, Ading selalu disayang. Tapi Ifan selalu mengganggunya.
“Ading! Ading!” selalu dia memanggil dan kalau Ading tidak menyahut Ifan berseru, “Hidung cutbrai!” baru Ading menengok dan menjawab, “Ada apa?”
Rupanya Ading merasa senang, meskipun dipanggil hidung cutbrai. Memang hidungnya berlubang besar dan kalau bernapas kelihatan mekar.
Tapi ketika teman-temannya membicarakan kenaikan kelas, Ading kelihatan sedih. Dia tidak bisa bergembira seperti ketika teman-temannya membicarakan film yang mereka tonton.
Bioskop Maras yang selalu mereka kunjungi bila ada film semua umur, tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Ading juga suka nonton dan selalu menggunakan uang sendiri.
Hari itu dirasakan olehnya sangat menekan. Ifan menuturkan kepada teman-temannya, dia akan meneruskan ke SMP. Sherley naik ke kelas lima.
Merry naik ke kelas empat, begitu juga Pipin. Otong juga naik ke kelas dua dan mereka sama-sama senang karena naik kelas itu. Hampir serentak mereka bertanya kepada Ading.
“Kamu bagaimana, Ding?”Ading menunduk malu.
“Ala, Ading, baru kelas satu juga sudah keluar!” kata Ifan yang tubuhnya tidak seberapa besar dari Ading.
“Kasihan dia, ibunya tidak bisa membayar uang sekolahnya!”
Mendengar ucapan Merry, Ading makin menunduk dan ketika mereka mulai bermain kembali, Ading baru merasa lega dan bisa tersenyum. Tapi dia merasa malu. Umurnya sudah sembilan tahun, tapi baru kelas satu. Inipun tidak diteruskan.
Ketika liburan kurang sehari selesai, Ifan dibelikan ibunya sebuah sepeda mini. Dari jauh Ading hanya memperhatikan sepeda itu.
Teman-teman Ifan menghampiri Irfan. Dalam hati, Ading kepingin sekali mempunyai sepeda macam itu. Tapi siapakah yang akan membelikannya?
Waktunya sekolah kembali, teman-teman Ading sudah pada pergi dengan baju, tas, dan buku-buku baru. Ading hanya memperhatikan mereka dengan sedih.
Pak Nur yang mendengar Ading tidak sekolah ikut merasa prihatin. Tapi anak-anaknya sendiri juga sekolah. Bayarannya mahal.
Istri Pak Nur ketika melihat Ading lalu, memanggilnya.
“Ding, kamu tidak sekolah?”
“Tidak, bu!” katanya sambil menunduk.
“Berapa umurmu?”
“Nanti dulu, bu, belum dihitung!” lalu Ading berlari.

Ading rela berhenti sekolah karena harus mencari uang. Tapi, Ading tetap semangat belajar! Foto: wordpress
Hampir semua orang senang kepadanya, karena Ading tidak pernah omong jorok, suka tersenyum, suka membantu dan tidak nakal.
Tapi meskipun demikian, tidak seorangpun mau membantu dia meneruskan sekolahnya.
Di depan sekolahnya, Ading berdiri. Dia kenal betul dengan bapak gurunya yang menyuruhnya dia berhenti. Rasanya mau menangis.
Tapi dia mendengarkan suara teman-temannya belajar membaca. Ingin sekali. Lalu matanya melihat seorang penjaja kue. Terlintas pada pikiran Ading untuk menjual kue macam itu.
Dia pikir, dengan menjual kue, dia tidak usah beli kue lagi. Dia bisa makan dan bisa mendapat upah. Karenanya dia berlari ke rumah ibu Ali yang tiap hari membuat pisang goreng dan combro.
Pada hari ketiga teman-temannya sekolah Ading menjual kue di halaman sekolah. Gurunya melihat Ading, tapi berpura-pura tidak kenal.
Pak Nur kaget melihat Ading menjual kue.
“Kamu sekarang jual kue, Ding?”
“Ya, Pak!”
“Tidak sekolah?”
“Tidak ada yang membiayai. Dengan jual kue, saya kepingin sekolah, Pak!”
“Bagus!” kata Pak Nur sambil berlalu.
Pada saat pelajaran sedang berlangsung, Ading mengintip ke ruangan kelas teman-temannya, mendengarkan pelaran kelas dua.
Kuenya dibiarkan pada tempatnya, ditutupi dengan koran. Demikian setiap hari Ading berjualan kue, sambil mendengarkan pelajaran dengan mengintip.
Dia selalu gembira, tidak saja dulu sewaktu duduk di bangku sekolah, tapi sekarang juga.(Asbari Nurpatria Krisna)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pandu Putri Pamungkas Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template