Selasa, 14 Desember 2010

Putri Iftia dan Penyihir Desa
Antara takut dan kasihan, akhirnya sang putri menolong si nenek di tengah perjalanan. Ilustrasi: deviantart
Putri Iftia gemar berkelana. Ia sering berkunjung ke desa-desa di wilayah kerajaan ayahnya. Ia sangat menikmati keindahan alam sepanjang perjalanan.
Meskipun begitu, ia harus menyamar untuk menghindari perhatian penduduk. Suatu hari Putri Iftia berkunjung ke sebuah desa.
Dalam perjalanan ia bertemu seorang nenek yang sedang berjalan kaki. Nenek itu menjinjing keranjang tertutup berwarna merah. Entah apa isi keranjang itu, tapi Iftia kasihan melihat si nenek.
“Nenek akan pergi ke mana? Apakah masih jauh? Lebih baik Nenek ikut bersamaku. Matahari siang begitu panas. Perjalanan akan lebih cepat jika ditempuh dengan kuda,” katanya menawarkan.
Nenek itu mendongak. Iftia melihat nenek itu tersenyum. Saat itulah terlihat mata sang nenek yang bundar seperti kucing.
Bola matanya berwarna hijau. Iftia terkejut dan merasa sedikit takut. Tapi ia sudah terlanjur menawarkan.
Nenek itu mengangguk. “Aku akan pulang ke rumah, di ujung Desa Barat.” Iftiah menelan ludah. Tubuhnya terasa merinding. “Oh, aku juga akan ke sana.”
Beberapa saat kemudian mereka tiba di jalan desa. Seorang wanita yang berjalan kaki berlawanan arah dengan mereka, tampak terkejut. Ia berlari terburu-buru masuk ke dalam rumah.
Iftia mengernyitkan keningnya curiga. Saat kudanya berjalan lebih lambat, ia mendengar orang berbisik-bisik dan menyebut-nyebut kata “nenek sihir”.
Apakah nenek yang bersamaku ini seorang penyihir? Gumam Iftia dalam hati. Perjalanan terus dilanjutkan sampai ke tepi desa yang sepi. Iftia mulai merasa takut.
Sepanjang perjalanan, nenek itu sama sekali tidak berbicara. Iftia juga takut untuk bertanya. Bagaimana kalau nenek ini benar-benar seorang penyihir? Bagaimana kalau isi keranjangnya adalah kepala manusia?
Sudah amat sering Iftia mendengar kisah dari para pendongeng di istana. Kisah tentang para peyihir yang membenci para putri dan menyihir mereka menjadi hewan-hewan mengerikan.

Ternyata nenek itu adalah penyihir yang baik hati. Ilustrasi; elfwood
“Itu rumahku.” tiba-tiba nenek itu bicara. Iftia tersadar dari lamunannya. Mereka tiba di depan sebuah rumah bercat kelabu. Iftia kini lega, karena bisa segera pulang setelah mengantar nenek ini.
“Mampirlah dulu ke rumahku, Nak,” tawar nenek itu saat turun dari kuda.
“Terima kasih, Nek,” jawab Iftia sopan. “Aku khawatir ibuku menunggu.”
Nenek itu mengangguk mengerti. Iftia baru saja akan memacu kudanya, ketika hujan deras turun.
“Masuklah, dari pada kau kehujanan di perjalanan,” nenek itu tersenyum.
Putri Iftia mengangguk ragu. Ia mengikuti si nenek masuk ke dalam rumah. Ternyata bagian dalam rumah itu tak begitu mengerikan.
Semua perabotan teratur rapi dan apik. Dinding-dindingnya yang berwarna krem muda dihiasi rangkaian bunga-bunga dalam pot-pot kecil.
Sebuah tungku mungil berwarna cokelat ada di sudut rumah. Nenek itu berjalan ke sana, mengarahkan tangannya ke arah tungku, dan… BLOSSSHH…
Tungku itu menyala dengan api kemerahan, lengkap dengan teko kecil dari tanah liat yang sedang mendidihkan air. Putri Iftia tersentak kaget. Ia mundur beberapa langkah saat nenek itu berbalik ke arahnya.
“Duduklah Putri Iftia,” kata nenek itu tersenyum ramah. Tapi Iftia terlanjur takut. Dengan gemetar ia duduk. Nenek sihir itu ternyata tahu namaku, gumamnya sambil menunduk.
“Jangan takut padaku. Aku memang penyihir. Tapi tidak semua penyihir jahat seperti bayanganmu. Seperti juga tidak semua putri memiliki sifat baik,” kata nenek itu sambil menatap dengan mata kucingnya.
Iftia memberanikan diri menatap mata itu. Ternyata tatapan mata nenek itu sangat ramah. Nenek itu bangkit dari duduknya lalu menghampiri tungku.
Air di teko telah mendidih. Tanpa menyentuhnya, nenek sihir itu membuat tiga cangkir cokelat susu panas. Ia membawanya ke meja tempat Iftia duduk. Iftia merasa heran.
“Maaf, kenapa Nenek membuat tiga cangkir cokelat susu?” tanya Iftia hati-hati. Nenek itu mengangkat tangannya dan membuka pintu dari jauh.
Seekor kucing yang basah karena kehujanan berlari ke dalam rumah. Nenek itu menurunkan secangkir cokeat susu ke dekat kucing yang terlihat kelaparan itu.
Iftia menatap semua kejadian itu dengan kagum dan terharu. “Nah, kita bertiga sekarang. Apa kau masih takut padaku?” tanya nenek itu sambil tertawa geli. Lucu sekali karena dari tadi ia melihat wajah Iftia yang pucat karena takut.
Iftia tersenyum dan menggeleng dengan yakin. Kenapa harus menduga seorang jahat hanya karena penampilannya?
Mereka menikmati hujan sore itu sambil berbincang tentang banyak hal, ditemani secangkir cokeat susu hangat. Isi keranjang bertutup sapu tangan merah tadi, ternyata sepuluh buah roti kismis lezat. Hmm… Putri Iftia berpikir sambil menghirup susu cokelatnya.

Suatu hari nanti, ia akan meminta seorang pendongeng istana membuat kisah persahabatan antara seorang putri dan penyihir.
Oleh Rae Sita Patappa
Bobo No. XXXV

0 komentar:

Posting Komentar

 

Pandu Putri Pamungkas Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template